Pertanyaan:
Manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, apakah shalat di rumah yang ia singgahi ataukah ia tetap datang ke mesjid dan shalat bersama masyarakat setempat?
Jawaban:
Pembuat syariat Yang Mahabijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi seorang musafir untuk mendirikan shalat jumat, begitu pula dengan kewajiban mendirikan shalat berjamaah (di mesjid). Akan tetapi, shalat berjamaah yang digugurkan kewajibannya adalah shalat berjamaah bersama masyarakat setempat, sedangkan untuk sesama musafir, mereka tetap wajib mendirikan shalat berjamaah.
Adapun tentang yang mana dari pilihan itu yang lebih afdhal, maka saya katakan bahwa yang lebih afdhal adalah yang lebih bermanfaat dan lebih mudah bagi mereka. Hukum ini seperti hukum shalatnya wanita di rumah, bahwa yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَبُيُوْتَهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Akan tetapi, kita tidak boleh melupakan bahwa para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bolak-balik ke mesjid, dan mereka shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Aisyah berkata,
لَقَدْ كَانَتِ النِّسَاءِ الْمُسْلِمَاتُ يُصَلِّيْنَ الْفَجْرَ خَلْفَ النَّبِيِّ ثُمَّ يَنْصَرِفْنَ فَي الْغَلَِ وَهُنَّ مُتَلَفِّعَاتٌ بِمُرُوْطِهِنَّ وَلاَ يُعْرَفْنَ مِنْ شِدَّةِ الْغَلَسِ
“Dahulu, para wanita muslimat sering mengerjakan shalat subuh di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka pulang dalam kegelapan (subuh), mereka menutupkan pakaian yang mereka kenakan ke tubuh mereka, dan mereka tidak dikenal karena pekatnya gelap (awal subuh).”
Wanita-wanita sahabiyah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap pergi ke mesjid untuk mendirikan shalat, walaupun shalat (di rumah) itu lebih baik dari mereka, dan hukum ini tetap berlaku.
Dari sini, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa kadang-kadang di dalam kekurangan itu muncul keutamaan, dan di dalam keutamaan itu kadang-kadang muncul kekurangan. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh, di antaranya adalah shalatnya wanita di mesjid.
Maka, yang lebih afdhal bagi wanita adalah shalat di rumah, bahkan lebih afdhal lagi di dalam kamarnya (khusus). Semakin jauh dari pandangan (pandangan orang lain, ed), semakin afdhal baginya.
Meskipun demikian, para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang shalat di mesjid, karena mereka membutuhkan ilmu, dan ilmu tersebut tidak mungkin mereka peroleh jika mereka shalat di rumah terus. Maka, dalam keadaan seperti ini, shalatnya wanita di mesjid lebih utama daripada shalatnya mereka di rumah, karena dengan shalat di mesjid, mereka akan mendapat manfaat yang besar, berupa ilmu dan tarbiyah Islam yang tidak mereka dapatkan jika mereka shalat di rumah. Selan itu, keluarnya wanita seharusnya disertai dengan menjaga adab-adab Islam, baik ketika ia berangkat, ketika kembali ke rumah, dan ketika berada di perjalanan.
Berdasarkan hal ini, maka saya katakan, “Jika seorang musafir mendapatkan manfaat dan faidah jika dia shalat di mesjid, maka lebih utama baginya shalat di mesjid. Jika tidak, maka lebih mudah dan lebih utama baginya shalat di rumah.”
Sumber: Fatwa-Fatwa Syekh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
🔍 Sejarah Tarekat Naqsabandiyah, Larangan Meniup Makanan Dan Minuman, Foto Wali Songo Asli, Sihir Pemisah Kekasih, Menjawab Adzan Subuh, Cara Mengetahui Makhluk Halus Yang Mengikuti Kita